Mahasiswa Cupid: Perpus: Antara Gaya Hidup dan Tantangan Zaman

Perpus: Antara Gaya Hidup dan Tantangan Zaman


Perpustakaan atau yang biasa disebut perpus merupakan ladang ilmu atau pintu masuk untuk merengkuh samudera pengetahuan yang maha luas di bumi ini. Perpus ibarat gudang amunisi yang menyediakan berbagai senjata dan alat kelengkapan perang melawan kebodohan dan ketidaktahuan. Di perpus, semua pengetahuan lintas disiplin ilmu terangkum dalam beribu buku yang tersusun rapi di atas rak-rak dengan kategori masing-masing. Perpus adalah rumah kedua bagi kaum-kaum cendekiawan yang haus akan pembaharuan.

Perpus dewasa ini telah distereotipkan sebagai sesuatu yang “dikucilkan”, bahkan dalam kalangan mahasiswa sendiri. Hal ini dibuktikan dengan penggambaran-penggambaran siswa atau mahasiswa dan perpus dalam film atau sinetron yang salah kaprah. Siswa atau mahasiswa tersebut digambarkan sebagai orang yang lugu (culun), kurang pergaulan (kuper), dan diberi gelar sebagai si kutu buku.

Persepsi mahasiswa secara umum terhadap hal ini, yang disadari atau tidak, turut dipengaruhi oleh stigma media itu sendiri. Hal-hal seperti ini merupakan pembunuhan karakter serta ancaman tersendiri bagi cendekia-cendekia muda yang harus terus berbenah diri melalui ilmu pengetahuan yang terangkum di perpus.

Belum lagi ada akronim yang sering disematkan kepada mahasiswa yang hanya pulang-pergi kampus dan perpus. Salah satunya di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Aceh dengan nama “marumpus” alias mahasiswa rumah-kampus-perpus dan masih banyak diskriminasi lain yang dialamatkan kepada pengunjung dan perpus itu sendiri.

Perpus dan Pustaka Online: Gaya Hidup Baru


Revolusi media saat ini yang diindikasikan dengan kian eksisnya dunia maya atau internet kian mempersempit ruang tumbuh-kembang perpus dengan adanya pustaka online. Di mana mahasiswa bisa dengan mudah menikmati dan mengunduh buku-buku kemasan program komputer dengan ekstensi *exe dan Portable Document Format (PDF), yaitu buku komputer/elektronik dengan nama e-book atau electronic book.

Namun, semestinya hal ini tak lantas menghilangkan eksistensi perpus di mata para cendekia. Kedua medium ini bisa dipadu-laraskan, dikombinasikan atau dimanfaatkan secara bersamaan. Satu sama lain saling melengkapi kekurangan yang ada.

Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang tersaji dalam paket-paket elektronik tersebut belum sepenuhnya bisa didayagunakan secara efektif. Misalnya, gangguan penglihatan yang mendera jika terlalu lama memelototkan mata di depan layar monitor komputer, kendala teknis seperti mati lampu, habis baterai serta kendala teknis lainnya. Walaupun harus juga diakui bahwa dengan perangkat elektronik ini bisa menghemat ruang (space) yang mampu menampung banyak koleksi e-book sehingga lebih efisien daripada buku yang tebal dan besar serta terpisah paketnya antara satu buku dan buku lainnya.

Seperti di Banda Aceh, misalnya. Saat ini, juga sudah ada orang yang mengkombinasikan antara konsep kafe yang menyediakan beragam makanan dan minuman dengan konsep pustaka yang menyediakan berbagai jenis buku baik level lokal (Aceh), nasional, serta internasional. Mereka memperkenalkan konsep ini sebagai Kafe Pustaka dengan slogan Makan, Minum, Baca, dan Online. Mereka juga menyediakan fasilitas Wireless Fidelity (Wi-fi) untuk online, warnet mini, serta ruang rapat.

Aktivitas “ngopi” masyarakat Aceh sudah menjadi gaya hidup (life style) di masyarakat. Dengan menggabungkan konsep “ngopi” di kafe dengan aktivitas membaca dan mengakses internet secara bersamaan, maka semua akan terasa lebih lengkap untuk mengisi aktivitas sehari-hari kaum cendekiawan muda dan menjadi gaya hidup baru di dunia modern pada era globalisasi ini.

Perpus dan Perpus Online sebagai Kebutuhan


Bagi saya, perpus merupakan kebutuhan vital, terutama bagi mahasiswa. Hal ini bukan hanya sekadar tuntutan kuliah semata, tetapi juga untuk membuka ruang-ruang sempit kesadaran dan fondasi awal menuju perubahan, pembaharuan serta revolusi pemikiran.

Namun hal ini juga harus diselaraskan dengan zamannya. Selain perpus, pustaka online dan sarana internet lainnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk menunjang kreativitas, produktivitas serta kebutuhan penting lainnya.

Perpus ideal saat ini adalah perpus yang mampu menjawab kebutuhan zaman. Sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat mendukung sepenuhnya kampanye membangun budaya membaca sebagai upaya mencerdaskan anak bangsa. Hal ini bisa diwujudkan dengan menerapkan konsep kafe dan pustaka dalam masyarakat. Semakin banyak model tersebut dalam lingkungan masyarakat, maka semakin besar kesadaran masyarakat untuk memasukkan budaya membaca dalam daftar gaya hidup, kebutuhan serta ruang kebudayaan baru yang baik dan sehat bagi mereka.

Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Mark Twain (1835-1910), seorang penulis asal Amerika Serikat, “The man who does not read good books has no advantage over the man who can't read them.” Semoga ini bisa menggugah kesadaran kita akan budaya membaca serta persepsi terhadap perpus sebagai jendela dunia.

Sammy Khalifa
Mahasiswa Program Studi Psikologi
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
Pegiat Komunitas Menulis Jeuneurob, Aceh

Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar