Mahasiswa Cupid: Jadi Koruptor Pop : Cukup!!

Jadi Koruptor Pop : Cukup!!

ADA lagi satu cara untuk jadi koruptor terkenal. Seorang koruptor yang perawakannya akrab di benak masyarakat sejatinya harus punya kelebihan dibanding koruptor-koruptor lainnya. Kalau bukan seorang presiden, menteri, atau kepala instansi tinggi, tentu media akan enggan meliputnya berlama-lama hingga mengimbangi episode dalam sinetron. Namun, kini semua itu telah berbalik. Dewasa ini tidak lagi pemuka negeri korup saja yang jadi populer di media. Untuk menjadi buah bibir media, cukup menjadi sosok yang ‘senang bernyanyi’.

Istilah ini baru-baru ini akrab di telinga kita kala putra kedua SBY sekaligus Sekjen Partai Demokrat (PD) pernah menyindir M Nazaruddin atau mantan Bendahara Umum PD dengan menyatakan nyanyiannya tidak merdu. M Nazaruddin menuduh beberapa petinggi PD terlibat dalam kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games XXVI. Kasus baru ini merebak di telinga masyarakat diiringi media yang ramai meliput setiap episode sinetron yang dibintangi mantan Bendahara Umum PD ini.

Kendati demikian, kasus sejenis bukanlah pertama kali ditemui. Selain Nazaruddin, sebelumnya ada mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komjen Susno Duadji kemudian seorang staf di Direktorat Pajak, Gayus Tambunan yang berhasil menarik perhatian khalayak banyak dengan nyanyian-nyanyiannya yang dianggap tidak merdu.

Dari setiap kasus para ‘koruptor penyanyi’ atau yang lazim disebut sebagai whistle blower ini masyarakat hanya dijadikan penonton setia kendati sempat membangkitkan amuk massa. Media pun sempat menjadikan drama ini sebagai pemicu naiknya rating program televisi dengan tidak ketinggalan meliput setiap episode layaknya tayangan sinetron. Namun, ironisnya nyanyian hanya berujung pada meringkuknya tersangka korupsi di hotel prodeo. Dan mungkin ditambah menjadi koruptor pop yang akrab di mata orang banyak. Alih-alih membuka aib para koruptor kakap atau dalang dari setiap rangkaian kasus tersebut, yang ada masyarakat menjadi mudah amnesia seiring munculnya kasus-kasus baru.

Tuduhan Komjen Susno Duadji ditambah Gayus Tambunan terhadap dalang kleptoisasi ini belum menemukan titik terang hingga kasus baru mencuat kembali di alam Indonesia. Nyanyian yang hanya berujung pada meringkuknya mereka dalam jeruji merupakan preseden yang sangat buruk. Bagaimana tidak? Harapan yang sangat besar telah terformat dalam benak kita, namun apa daya mantra slogan ‘anti korupsi’ rezim penguasa negeri ini seakan kehilangan kesaktiannya.

Masyarakat terperangkap dalam kebimbangan dan kelimpungan. Setiap kasus saling berganti menghiasi media, namun tidak satu pun yang selesai dengan tuntas. Banyak misteri yang masih tersimpan rapi. Bahkan kekuatan mediapun mulai memudar. Saat aktor peniup peluit itu masuk kurungan, media pun mulai diam dan beralih ke cerita baru yang lebih menarik. Siapa sangka ternyata di depan masih saja ada kasus baru yang mirip dengan kasus-kasus di belakangnya. Episode yang tidak barupun dimulai. Ancang-ancang untuk pemberantasan korupsi dimudakan kembali sembari memoles wajah para dalang agar tidak terlihat cacat yang sesungguhnya.

Wajah pemberantasan korupsi di negeri ini telah banyak tercoreng. Inilah yang membuat masyarakat semakin tidak lagi peduli dengan masalah negeri ini. Masyarakat telah pandai menyimpulkan bahwa negeri ini sedang menemui kejatuhannya sehingga sangat jelas krisis multidimensi mempengaruhi mental masyarakat. Tidak ada lagi kepercayaan diri, yang ada kini apatisme yang mulai menggelayuti. Supremasi hukum yang berada pada titik nadir. Krisis kepemimpinan di setiap level. Penegak hukum termasuk lembaga yang dianggap paling bersih seperti KPK semakin diragukan integritas dan kapabilitasnya. Derogasi mental dan karakter dari setiap dimensi negeri ini menambah kegamangan dan pesimisme di kalangan masnyarakat.

Dengan munculnya kasus baru Nazaruddin yang nampak menyimpan rahasia besar di satu sisi menambah coreng muka slogan anti korupsi rezim ini. Di sisi lain harapan akan terkuaknya dalang korupsi di negeri ini terbuka kembali, tapi semuanya tampak masih terhambat. Kasusnya semakin kompleks dan sangat bercabang. Banyak pihak seakan bermain sendiri-sendiri dengan keahliannya masing-masing. Lagi-lagi masyarakat dipaksa berpikir keras dan dibuat pusing ibarat bermain biang lala. Permainan apa lagi yang sedang dilakonkan? Semua masih berada pada tataran pertanyaan dan tampak sulit menemukan jawabannya. 

Indonesia mulai sampai pada tahap negeri para koruptor pop. Koruptornya yang mulai mengalahkan para artis layar kaca. Berlagak menjadi orang paling tahu, bernyanyi dan menyeret nama-nama besar namun semuanya hanya untuk sebuah popularitas. Karena semuanya kosong, bualan, dan isu belaka. Buktinya apa yang dinyanyikan tidak semerdu kala itu. Dalang itu hilang dan tidak pernah diseret namanya. Bahkan receptionist hotel prodeo tidak mencatat nama-nama mereka. Apa yang terjadi? Semuanya diam, biarlah nyanyian itu hanya jadi nyanyian.

Masyarakat sangat menunggu-nunggu akhir cerita Nazaruddin. Semua berharap kasus ini tidak berujung seperti kasus Susno Duadji dan Gayus Tambunan yang hanya menyeret anak kecil dari hiu besar yang masih mengembara bebas di laut lepas. Ini menjadi waktu yang tepat untuk mengembalikan kesaktian slogan antikorupsi rezim SBY. Kepercayaan rakyat akan menjadi taruhannya.

Mungkin keperkasaan itu tidak berarti banyak untuk melanggengkan tahta karena hambatan konstitusi. Namun, seorang pemimpin yang besar tidak hanya akan memikirkan kenaikannya tapi juga memikirkan bagaimana dia turun tahta. Seorang pemimpin besar akan turun tahta dengan pujaan dan pujian yang tak henti-hentinya mengiringinya.

Junius Fernando S Saragih
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Padajajaran (Unpad)
Aktivis GmnI Kab. Sumedang

Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar