Mahasiswa Cupid: Save the Children Indonesia!

Save the Children Indonesia!



“MASA kanak-kanak seharusnya penuh keceriaan, bermain dalam terang sinar matahri; bukannya hidup dalam mimpi menakutkan yang bersumber dalam kegelapan jiwa.” (Dave Pelzer)
Orang-orang Jepang bilang, masa yang paling menyenangkan adalah masa kanak-kanak karena masa itu mereka mendapatkan dongeng dari orangtua dengan penuh belaian kasih sayang. Masa indah tiada beban dan “merdeka” dalam setiap tindak ekspresi keceriaan.

Anak-anak adalah tunas bangsa, generasi penerus masa depan yang akan menjaga kelangsungan eksistensi bangsa. Oleh karena itu, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dari sisi fisik seperti, mendapatkan asupan gizi yang cukup, maupaun sisi metal, sosial, dan spiritual. Terutama kasih sayang dari orang tua sebagai madrasah pertama dalam hidup si anak.

Memang benar barangkali, kondisi ideal adalah utopis belaka, ia hadir di alam mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Di Indonesia sendiri, permasalahan tentang anak semakin kompleks. Mulai dari tidak mendapatkan pendidikan yang layak karena di usia dini mereka sudah harus mencari nafkah guna kelangsungan hidup, ada juga eksplotasi anak di bidang prostitusi dan pornografi, gizi buruk, cacat fisik dan mental, terkena HIV/AIDS, dan masih banyak lainnya.

Saat ini, berdasarkan data dari Kementrian Sosial RI, jumlah anak dalam situasi sulit mencapai 17,7 juta. Yang dimaksudkan dalam keadaan sulit adalah mereka yang terlantar, anak-anak yang tereksploitasi, membutuhkan perlindungan khusus seperti, cacat fisik maupun mental termasuk mereka yang berada di panti asuhan. Dari jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini kemampuan negara untuk mengatasinya baru mencapai empat persen setahun atau lebih kurang 708.000 anak. Artinya, negara baru mampu menyelesaikan masalah ini selama 25 tahun ke depan. Itupun dengan asumsi, selama perlajalanan tidak ada tambahan jumlah anak dalam keadaan sulit.

Mencari solusi atas permasalahan memang tidak semudah mambalik telapak tangan, perlu analisa mendalam, perencanaan, dan tindakan yang konsisten dalam memecahkannya. Jika dianalisis, sebenarnya permasalahan mendasar adalah tentang kesejahteraan hidup. Lantas bagaimana cara memberikan kesejahteraan bagi mereka? Apakah dengan memberikan uang sedekah di pinggir-pinggir jalan? Analogi yang harus digunakan yakni, “nelayan hebat untuk tetap melangsungkan hidupnya, jelas  lebih memilih kail dibandingkan ikan”. Anak-anak perlu mendapatkan pendidikan, bukan hal-hal yang sifatnya instan. Karena mereka adalah “kail” untuk menggapai kesejahteraan hidup di masa mendatang. Dari sini juga diperlukan peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.

Kerja sama antara seluruh elemen masyarakat baik LSM maupun pemerintah sangat dibutuhkan untuk gerakan sadar pendidikan bagi anak-anak terlantar. Sekarang sudah banyak panti di Indonesia yang turut menyediakan pendidikan dan keterampilan khusus bagi anak-anak terlantar. Ini adalah hal baik yang perlu mendapatkan respons positif dari semua kalangan.

Di samping itu, pemerintah dapat melakukan razia rutin untuk anak-anak terlantar agar mereka dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Dari razia rutin, pemerintah juga dapat mengurangi angka ekploitasi. Hal ini dapat diiringi dengan adanya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, terutama pada ancaman atas tindakan pidana terhadap anak. Misalnya tentang memperkerjakan anak dibawah umur bertentangan dengan Pasal 17 UU Nomor 23 Tahun 2003 di mana pelaku dapat dijerat dengan Pasal 88 UU Nomor 23 Tahun 2003 (BAB XII mengenai Ketentuan Pidana), setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau denda paling banyak Rp200 juta.

Ardian Umam
Mahasiswa Teknik Elektro UGM 2009
Koor. Jaringan Khusus Media Opini UGM 2011

Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar